Minggu, 10 Oktober 2010

Report Edelweiss

EDELWEISS

Edelweiss (sometimes written eidelweis) or Edelweiss Java (Javanese edelweiss), also known as the Bunga Abadi Anaphalis javanica has a Latin name, is a plant endemic zones alpina / montana in various high mountains of Indonesia. This plant can reach a maximum height of 8 m with a trunk reaching for the human foot, although generally not exceed 1 m. Plants that flower often seen as a symbol of love, sincerity, sacrifice, and eternity is now categorized as rare plants. Edelweiss is also a pioneer plant for young volcanic soils in mountain forests and able to maintain its existence in a barren land, being able to form mycorrhizae with certain soil fungi that effectively expand the area covered by the roots and increase efficiency in the search for nutrients.
At the summit of Mount Gede, Edelweiss flower (Leontopodium alpinum) can be found. This flower is white-greenish-gray. They grow to form a small hedge in permukanan ground. When picked and stored in a dry place and room temperature, this rate will not change color as if he were still alive and everlasting. This is the specialty so that he often became a symbol of love for a teenage boy to his girlfriend.
The leaves are long, thin and hairy, and the center of the orange flowers and flower heads that resemble daisies. Edelweiss flower could reach more than 100 years old, that's called eternal flowers.These types of pioneer plants strong and started inhabiting the barren slopes by fire. Edelweiss suitable to grow in the heat conditions in open areas in the crater and the summit, can not compete to grow in dark and humid forest.
The flowers are very favored by the insect, more than 300 kinds of insects such as fleas, tirip, butterflies, flies, wasps and bees seen visiting. If the plant is allowed to grow branch branches sturdy enough, edelweiss can become nesting places for birds Tiung Myophonus glaucinus sly stone.
Edelweiss parts often are picked and brought down from the mountains for reasons of aesthetic and spiritual, or just a memento by the climbers. Within certain limits and along the only pieces - small pieces that are picked, this pressure can be faced.Unfortunately greed and false hopes have been sacrificed many populations, especially populations located in the paths.
The research has been done shows that edelweiss can be propagated easily by cutting the branches. Therefore, the pieces may be sold to visitors to reduce pressure on wild populations.
This flower is white average gray-green and yellowish white. Many say that there edelweiss purple, blue, and red. The truth is still a mystery. This flower grows to form a small hedge in permukanan ground. When picked and stored in a dry place and room temperature, this rate will not change color as if he were still alive and everlasting. This is the specialty so that he often became a symbol of love for a teenage boy terdadap lover. It is also likely to provoke the climbers to pick and bring him home. This flower will not wilt if it is picked, but this interest will only be dry.
Edelweiss flower (Leontopodium alpinum) are often mentioned as a perennial flower growing in the open and humid contained in a particular mountain peak or slope, such as Mount Gede, Malabar, Papandayan, Cikurai, Guntur, etc.. In botany, flowers are formed naturally from the heap humus and requires at least five years to grow and bloom.

Versi Indonesia

Edelweis (kadang ditulis eidelweis) atau Edelweis Jawa (Javanese edelweiss) juga dikenal sebagai Bunga Abadi yang mempunyai nama latin Anaphalis javanica, adalah tumbuhan endemik zona alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Indonesia. Tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian maksimal 8 m dengan batang mencapai sebesar kaki manusia walaupun umumnya tidak melebihi 1 m. Tumbuhan yang bunganya sering dianggap sebagai perlambang cinta, ketulusan, pengorbanan, dan keabadian ini sekarang dikategorikan sebagai tanaman langka. Edelweis juga merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di hutan pegunungan dan mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya di atas tanah yang tandus, karena mampu membentuk mikoriza dengan jamur tanah tertentu yang secara efektif memperluas kawasan yang dijangkau oleh akar-akarnya dan meningkatkan efisiensi dalam mencari zat hara.
Di puncak Gunung Gede, bunga Edelweiss (Leontopodium alpinum) bisa ditemukan. Bunga ini berwarna putih-abu-kehijauan. Mereka tumbuh membentuk rimbunan kecil di permukanan tanah. Ketika dipetik dan disimpan di tempat kering dan temperatur ruangan, bunga ini tidak akan berubah warna seolah-olah ia tetap hidup dan abadi. Inilah keistimewaannya sehingga ia sering menjadi lambang kecintaan seorang remaja pria terhadap kekasihnya.
Daunnya yang panjang, tipis dan berbulu lebat serta bagian tengah bunganya yang berwarna oranye dan kepala bunga yang menyerupai bunga aster. Bunga Edelweis bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun, untuk itulah disebut bunga abadi. Jenis ini tumbuhan perintis yang kuat dan mulai mendiami lereng yang tandus akibat kebakaran. Edelweis cocok tumbuh pada kondisi panas terik di daerah terbuka di kawah dan puncak, tidak bisa bersaing untuk tumbuh di hutan yang gelap dan lembab.
Bunga-bunganya sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga seperti kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan dan lebah terlihat mengunjunginya. Jika tumbuhan ini cabang cabangnya dibiarkan tumbuh cukup kokoh, edelweis dapat menjadi tempat bersarang bagi burung tiung batu licik Myophonus glaucinus. 
Bagian-bagian edelweis sering dipetik dan dibawa turun dari gunung untuk alasan-alasan estetis dan spiritual, atau sekedar kenang-kenangan oleh para pendaki. Dalam batas tertentu dan sepanjang hanya potongan - potongan kecil yang dipetik, tekanan ini dapat dihadapi. Sayangnya keserakahan serta harapan-harapan yang salah telah mengorbankan banyak populasi, terutama populasi yang terletak di jalan-jalan setapak.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa edelweis dapat diperbanyak dengan mudah melalui pemotongan cabang-cabangnya. Oleh karena itu potongan-potongan itu mungkin dapat dijual kepada pengunjung untuk mengurangi tekanan terhadap populasi liar.
Bunga ini rata-rata berwarna putih–abu-kehijauan dan putih kekuning-kuningan. Banyak yang mengatakan bahwa ada edelweis yang berwarna ungu, biru, dan merah. Kebenarannya masih sebuah misteri. Bunga ini tumbuh membentuk rimbunan kecil di permukanan tanah. Ketika dipetik dan disimpan di tempat kering dan temperatur ruangan, bunga ini tidak akan berubah warna seolah-olah ia tetap hidup dan abadi. Inilah keistimewaannya sehingga ia sering menjadi lambang kecintaan seorang remaja pria terdadap kekasihnya. Hal ini jugalah yang memancing para pendaki untuk memetik dan membawanya pulang. Bunga ini tidak akan layu jika sudah dipetik tetapi bunga ini hanya akan mengering.
Bunga edelweis (Leontopodium alpinum) yang sering disebut-sebut sebagai bunga abadi tumbuh di tempat terbuka dan lembab yang terdapat di puncak atau lereng gunung tertentu, seperti Gunung Gede, Malabar, Papandayan, Cikurai, Guntur, dll. Dalam ilmu botani, bunga tersebut terbentuk secara alami dari timbunan humus dan memerlukan waktu sedikitnya lima tahun untuk tumbuh dan berbunga.

Selasa, 05 Oktober 2010

SISTEM PERIODIK UNSUR

Zaman perkembangan masuknya agama Hindu-Budha (SENI BUDAYA)

Zaman sejarah di Indonesia diawali sejak abad ke-5 M setelah masuknya pengaruh India (Hindu-Budha). Kebudayaan Hindu melalui kegiatan perdagangan, agama dan politik. Pusat perkembangannya di Jawa, Bali dan Sumatra yang kemudian bercampur (akulturasi) dengan kebudayaan asli Indonesia (kebudayaan istana dan feodal). Prose akulturasi kebudayan India dan Indonesia berlangsung secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, yaitu dengan proses:
a. Proses peniruan (imitasi)
b. Proses Penyesuaian (adaptasi)
c. Proses Penguasaan (kreasi)

1. Ciri – Ciri Seni rupa Indonesia Hindu Budha, yaitu:
a. Bersifat Peodal, yaitu kesenian berpusat di istana sebagai medi pengabdian Raja (kultus Raja)
b. Bersifat Sakral, yaitu kesenian sebagai media upacara agama
c. Bersifat Konvensional, yaitu kesenian yang bertolak pada suatu pedoman pada sumber hukum agama (Silfasastra)
d. Hasil akulturasi kebudayaan India dengan indonesia

2. Karya Seni Rupa Indonesia Hindu Budha
a. Seni Bangunan:
1) Bangunan Candi
Candi_Lumbung
Candi berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu Dewa kematian (Dugra). Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen untuk memuliakan Raja yang meninggal contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati, selain itu candi pula berfungsi sebagai:
- Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha, contoh candi Borobudur
- Candi Pintu Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contohnya candi Bajang Ratu
- Candi Balai Kambang / Tirta: didirikan didekat / ditengah kolam, contoh candi Belahan
- Candi Pertapaan: didirikan di lereng – lereng tempat Raja bertapa, contohnya candi Jalatunda
- Candi Vihara: didirikan untuk tempat para pendeta bersemedhi contohnya candi Sari
Struktur bangunan candi terdiri dari 3 bagian
- Kaki candi adalah bagian dasar sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20)
- Tubuh candi. Terdapat kamar – kamar tempat arca atau patung
- Atap candi: berbentuk limas an, bermahkota stupa, lingga, ratna atau amalaka
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang kelompok. Ada dua system dalam pengelempokan candi, yaitu:
- Sistem Konsentris (hasil pengaruh dari India) yaitu induk candi berada di tengah – tengah anak – anak candi, contohnya kelompok candi lorojongrang dan prambanan
- Sistem membelakangi (hasil kreasi asli Indonesia )yaitu induk candi berada di belakang anak – anak candi, contohnya candi penataran

2) Bangunan pura
Pura adalah bangunan tempat Dewa atau arwah leluhur yang banyak didirikan di Bali. Pura merupakan komplek bangunan yang disusun terdiri dari tiga halaman pengaruh dari candi penataran yaitu:
- Halaman depan terdapat balai pertemuan
- Halaman tengah terdapat balai saji
- Halaman belakang terdapat; meru, padmasana, dan rumah Dewa
Seluruh bangunan dikelilingi dinding keliling dengan pintu gerbangnya ada yang berpintu / bertutup (kori agung) ada yang terbuka ( candi bentar)
- Pura agung, didirikan di komplek istana
- Pura gunung, didirikan di lereng gunung tempat bersemedhi
- Pura subak, didirikan di daerah pesawahan
- Pura laut, didirikan di tepi pantai

3) Bangunan Puri
Puri adalah bangunan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat keagamaan. Bangunan – bangunan yang terdapat di komplek puri antara lain: Tempat kepala keluarga (Semanggen), tempat upacara meratakan gigi (Balain Munde) dsb

b. Seni patung Hindu Budha
Candi Borobudur.
helen1
Patung dalam agama Hindu merupakan hasil perwujudan dari Raja dengan Dewa penitisnya. Orang Hindu percaya adanya Trimurti: Dewa Brahma Wisnu dan Siwa. Untuk membedakan mereka setiap patung diberi atribut keDewaan (laksana/ciri), misalnya patung Brahma laksananya berkepala empat, bertangan empat dan kendaraanhya (wahana) hangsa). Sedangkan pada patung wisnu laksananya adalah para mahkotanya terdapat bulan sabit, dan tengkorak, kendaraannya lembu, (nadi) dsb.
Dalam agama Budha bisaa dipatungkan adalah sang Budha, Dhyani Budha, Dhyani Bodhidattwa dan Dewi Tara. Setiap patung Budha memiliki tanda – tanda kesucian, yaitu:
- Rambut ikal dan berjenggot (ashnisha)
- Diantara keningnya terdapat titik (urna)
- Telinganya panjang (lamba-karnapasa)
- Terdapat juga kerutan di leher
- Memakai jubah sanghati

c. Seni hias Hindu Budha
Bentuk bangunan candi sebenarnya hasil tiruan dari gunung Mahameru yang dianggap suci sebagai tempatnya para Dewa. Oleh sebab itu Candi selalu diberi hiasan sesuai dengan suasana alam pegunungan, yaitu dengan motif flora dan fauna serta mahluk azaib. Bentuk hiasan candi dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Hiasan Arsitektural ialah hiasan bersifat 3 dimensional yang membentuk struktur bangunan candi, contohnya:
- Hiasan mahkota pada atap candi
- Hisana menara sudut pada setiap candi
- Hiasan motif kala (Banaspati) pada bagian atas pintu
- Hiasan makara, simbar filaster,dll
2) Hiasan bidang ialah hiasan bersifat dua dimensional yang terdapat pada dinding / bidang candi, contohnya
- Hiasan dengan cerita, candi Hindu ialah Mahabarata dan Ramayana: sedangkan pada candi Budha adalah Jataka, Lalitapistara
- Hiasan flora dan fauna
- Hiasan pola geometris
- Hiasan makhluk khayangan
3) Kronologis Sejarah Seni rupa Hindu Budha
a. Seni rupa Jawa Hindu periode Jawa Tengah, terbagi atas:
1) Zaman Wangsa Sanjaya
Candi – candi hanya didirikan di daerah pegunungan. Seni patungnya merupakan perwujudan antara manusia dengan binatang (lembu atau garuda)
2) Zaman Wangsa Syailendra
Peninggalan candinya : kelompok Candi Prambanan, Kelompok Candi Sewu, Candi Borobudurm, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Mendut Dan Kelompok Candi Plaosan
Seni patungnya bersifat Budhis, contohnya patung Budha dan Budhisatwa di Candi Borobudur
b. Seni rupa Jawa Hindu periode Jawa Timur, terbagi atas:
1) Zaman Peralihan
Pada seni bangunannya sudah meperlihatkan tanda – tanda gaya seni jawa timur seperti tampak pada Candi Belahan yaitu pada perubahan kaki candi yang bertingkat dan atapnya yang makin tinggi. Kemudian pada seni patungnya dudah tidak lagi memperlihatkan tradisi India, tetapi sudah diterapkan proposisi Indonesia seperti pada patung Airlangga
2) Zaman Singasari
Pada seni bangunannya sudah benar – benar meperlihatkan gaya seni Jawa Timur baik pada struktur candi maupun pada hiasannya, contohnya: candi singosari, candi kidal, dan candi jago. Seni patungnya bergaya Klasisistis yang bertolak dari gaya seni Jawa Tengah, hanya seni patung singosari lebih lebih halus pahatannya dan lebih kaya dengan hiasan contohnya patung Prajnaparamita, Bhairawa dan Ganesha.
3) Zaman Majapahit
Candi – candi Majapahit sebagian besar sudah tidak utuh lagi karena terbuat dari batu bata, perbedaan dengan candi di Jawa Tengah yang terbuat dari batu kali / andhesit peninggalan candinya: kelompok candi Penataran, Candi Bajangratu, candi Surowono, candi Triwulan dll
Kemudian pada seni patungnya sudah tidak lagi memperlihatkan gaya klasik Jawa Tengah, melainkan gaya magis monumental yang lebih menonjolkan tradisi Indonesia seperti tampak pada raut muka, pakaian batik dan perhiasan khas Indonesia. Selain patung dari batu juga dikelan patung realistic dari Terakotta (tanah liat) hasil pengaruh darin Campa dan China, contohnya patung wajah Gajah Mada

d. Seni Rupa Bali Hindu
Di Bali jarang ditemukan candi sebab masyarakatnya tidak mengenal Kultus Raja. Seni bangunan utama di Bali adalah Pura dan Puri. Pura sebagai bangunan suci tetapi di dalamnya tidak terdapat patung perwujudan Dewa karena masyarakat Bali tidak mengenal an-Iconis yaitu tidak mengebal patung sebagai objek pemujaan, adapun patung hanya sebagai hiasan saja

e. Seni Rupa atau Seni Ukir
Akulturasi dalam bidang seni rupa, dan seni ukir terlihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding candi.
Sebagai contoh: relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur bukan hanya menggambarkan riwayat sang budha tetapi juga terdapat relief yang menggambarkan lingkungan alam Indonesia. Terdapat pula relief yang menggambarkan bentuk perahu bercadik yang menggambarkan kegiatan nenek moyang bangsa Indonesia pada masa itu.
f. Aksara/tulisan
Mengenal tulisan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan dengan tulisan mereka dapat mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada masanya sehingga dapat menyebarkan dan mewariskan berbagai macam tradisi, nilai, kepercayaan, dan budayanya kepada masyarakat di sekitarnya maupun generasi penerus. Bukti-bukti tertulis yang ditinggalkan sehingga dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi selanjutnya, sehingga mereka dapat memahami dan menafsirkan kehidupan generasi terdahulu dan memperkuat akar dan jati diri masyarakat yang bersangkutan. Di antara bukti-bukti tertulis itu terdapat prasasti, kitab-kitab agama, karya-karya sastra dan sebagainya.
         1.   PRASASTI
Prasasti adalah peninggalan tertulis yang dipahatkan dan dilukiskan pada bahan yang tidak mudah musnah, seperti batu, logam, dan gading.
Pada umumnya prasasti menuliskan suatu peristiwa yang cukup penting pada masa lampau. Prasasti biasanya dibuat atas perintah raja yang berkuasa.
Tujuan pembuatan prasasti adalah untuk mengabadikan suatu peristiwa penting yang dialami oleh seorang raja atau sebuah kerajaan.
Contoh prasasti pada awal perkembangan kebudayaan Hindu-Budha.
a.          Prasasti Kutai di Kalimantan Timur
Prasasti berupa tujuh buah yupa(tugu batu) yang diperkirakan berasal dari tahun 400 M, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Sansekerta. Isinya, peringatan upacara kurban agama Hindu yang diperintahkan oleh Raja Mulawarman, Putra Aswawarman, dan cucu Kudungga.
b.     Prasasti Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat
Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.
Contohnya: Prasasti Ciaruteun (pahatan telapak kaki dan tulisan), Prasasti Kebon Kopi (pahatan telapak kaki gajah dan tulisan), Prasasti Jambu (pujian terhadap Purnawarman), Prasasti Pasir Awi (memuat syair pujian terhadap Raja Purnawarman), Prasasti Tugu (berita tentang penggalian saluran Sungai Gomati), Prasasti Muara Cianten, Prasasti Cidang Hiang.
b.          Prasasti Kerajaan Sriwijaya
Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Contohnya: Prasasti Kedukan Bukit (Dapunta Hyang menaklukkan beberapa daerah), Prasasti Talang tuo (perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk), Prasasti Telaga Batu (berisi kutukan kepada siapa saja yang tidak setia pada raja), Prasasti Kota Kapur (berisi permohonan kepada dewa untuk menjaga Sriwijaya dan menghukum para penghianat Sriwijaya).
d.    Prasasti Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti Canggal (654 Saka/732 M), menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, mengenai pendirian sebuah lingga atas perintah Raja Sanjaya di atas bukit Kunjarakunja.
Prasasti Matyasih (prasasti Kedu) (829 Saka/907 M), berisi tentang raja-raja yang memerintah sebelum Dyah Balitung.
Prasasti Ritihang, berbahasa Jawa Kuno ditulis dengan huruf Pallawa berangka tahun 863 Saka/ 914 M.
e.     Prasasti Kerajaan Syailendra
Prasasti Kalasan, berangka tahun 700 Saka (778 M), berbahasa Sansekerta, dan ditulis dengan huruf Pra-Nagari.
Prasasti Klurak (dekat Prambanan), berangka tahun 704 Saka (782 M), ditulis dengan bahasa Sansekerta dan huruf Pra-Nagari. Mengenai pembuatan arca Manjusri.
2.   KITAB
Kitab merupakan sebuah karya sastra para pujangga pada masa lampau yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengungkap suatu peristiwa di masa lampau. Para pujangga biasanya menulis atas perintah raja. Itulah sebabnya isi tulisannya banyak menulis keagungan dan kebesaran raja yang bersangkutan. Diantara kitab-kitab yang terkenal pada masa kerajaan Hindu-Budha:
1.) Pada zaman Kediri dihasilkan kitab:
1. Arjunawiwaha
Merupakan karya Mpu Kanwa pada tahun 1030 M, pada masa pemerintahan Airlangga.
Isinya meriwayatkan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan senjata guna keperluan perang melawan Kurawa.
2. Kresnayana
Karya Mpu Triguna. Memuat riwayat Kresna semasa kecil. Cerita yang mirip dengan Kresnayana adalah cerita dalam kitab Hariwangsa karya Mpu Panuluh, yang digubah pada zaman Raja Jayabaya, dan berisi kisah perkawinan Kresna dengan Dewi Rukhimi.
3. Smaradahana
Karya Mpu Dharmaja pada masa Sri Kameswara. Mengisahkan hilangnya suami istri Dewa Kama dan Dewi Ratih karena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa.
4. Baratayudha
Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Isinya tentang peperangan 18 hari antara keluarga Pandawa dan Kurawa.
5. Gatotkacasraya
Karangan Mpu Panuluh, menceritakan perkawinan Abimanyu, putra Arjuna, dengan Siti Sundhari atas bantuan Gatotkaca, putra Bima.Ditulis pada zaman Raja Jayabaya.
2) Pada zaman Majapahit I
1. Negarakertagama
Ditulis pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk oleh Mpu Prapanca. Mengenai kerajaan Singasari dari masa pemerintahan Ken Arok, raja pertama Singosari hingga Hayam Wuruk.
2. Sutasoma
Karangan Mpu Tantular. Menceritakan Sutasoma, putra raja yang kemudian mendalami agama Budha. Dalam kitab ini terdapat kata Bhinneka tunggal ika,tan hana dharma mangrwa. Kata bhinneka tunggal ika inilah yang kemudian menjadi semboyan persatuan kita.
3. Arjunawijaya
Karangan Mpu Tantular. Kitab mengisahkan raja Arjuna Sasrabahu dan Patih Sumantri melawan Raksasa Rahwana.
4. Kutaramanawa
Ditulis oleh Gajah Mada. Disusun berdasarkan kitab hukum Kutarasastra dan kitab hukum Munawasastra, dan kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada waktu itu.
3) Pada zaman Majapahit II
1. Pararaton
Pararaton berisi dongeng dan mitos. Pengarangnya sampai sekarang belum diketahui. Terdiri atas 2 bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok sampai raja-raja Sigasari. Bagian kedua mengisahkan Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubad, dan daftar raja sesudah Hayam Wuruk.
2. Tantu Panggelaran
3. Calon Arang
4. Sundayana
5. Paman Canggah
6. Usana Bali
7. Cerita Parahiyangan
8. Bubhuksah dan Gagang Aking

g. Kesusastraan
Setelah kebudayaan tulis seni sastrapun mulai berkembang dengan pesat.  Seni sastra berbentuk prosa dan tembang (puisi). Tembang jawa kuno umumnya disebut kakawin. Irama kakawin didasarkan pada irama dari India.
Berdasarkan isinya, kesusastraan tersebut terdiri atas kitab keagamaan (tutur/pitutur), kitab hukum, kitab wiracarita (kepahlawanan) serta kitab cerita lainnya yang bertutur mengenai masalah keagamaan atau kesusilaan serta uraian sejarah, seperti Negarakertagama.
Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kisah Ramayana dan Mahabarata. Kisah India itu kemudian digubah oleh para pujangga Indonesia, seperti Baratayudha yang digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Berkembangnya karya sastra, terutama yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana, telah melahirkan seni pertunjukan wayang kulit(wayang purwa).
Pertunjukkan wayang banyak mengandung nilai yang bersifat mendidik. Cerita dalam pertunjukkan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya sendiri asli Indonesia. Bahkan muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia seperti tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India.
h. Arca Hellenistic dalam kesenian Klasik Tua di Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya agama Buddha di Jawa, maka kesenian Buddhapun berkembang pula, karena kesenian dan aktivitas keagamaan pada masa itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setelah memperhatikan ciri penggambaran relief yang terdapat di candi-candi Buddha masa Klasik Tua di Jawa Tengah, antara lain di Candi Borobudur, maka dapat disimpulkan adanya anasir seni yang mungkin meneruskan tradisi seni Hellenistic Gandhara yang diserap oleh kesenian Mathura dan Gupta yang pada akhirnya masuk ke Jawa.
Dalam penggambaran relief di candi-candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah, dapat dikatakan adanya pengaruh Gandhara dalam kesenian  Gupta yang akhirnya menjadi ciri seni relief Jawa, namun apabila ditelusuri ciri itu dapat dirunut kembali kepada bentuk kesenian Hellenistic Gandhara. Dalam seni relief beberapa anasir Gandhara itu adalah:
a.Bentuk relief tinggi
Awalnya terdapat dalam pahatan-pahatan seni relief Gandhara yang membuat figur tokoh-tokoh menjadi lebih menonjol dari bidang pahatan.
b.Gaya naturalis
Salah satu ciri yang terdapat dalam pemahatan relief masa Klasik Tua adalah gaya naturalis, gaya demikian sebenarnya telah dikenal sejak zaman kesenian Gandhara. c.Wajah digambarkan en-face, menghadap  ke pengamat
Dalam pemahatan relief wajah tokoh-tokoh dibuat menghadap ke pengamat, gaya ini terdapat dalam pemahatan relief cerita Karmmavibhangga, Lalitavistara dan lainnya  di Candi Borobudur.
helen1
c.Adanya penggambaran lipatan kain (draperi)
Relief gaya seni Gandhara sangat memperhatikan penggambaran lipatan kain, terutama pada bagian busana yang dikenakan oleh para tokoh. Lipatan kain itu digambarkan sangat halus dan naturalis, sehingga jatuhnya kain dan lipatan kain hampir seperti kenyataan sebenarnya.
Sebagai bandingan dapat diperhatikan gambar 1 dan 2 yang merupakan relief dengan gaya Gandhara dan Mathura, sedangkan pada gambar 3 berikut adalah bandingannya dari salah satu panil relief Karmmavibhangga di Candi Borobudur:


helen2
Dalam pada itu di bidang seni arca terdapat pula beberapa anasir seni Gandhara yang masih dapat dilihat dalam senia arca di Jawa, antara lain:
a.Sikap duduk atau berdiri sambil melakukan mudra (sikap tangan) tertentu
Telah diperlihatkan oleh berbagai arca dari kesenian Gandhara (gambar 4, 5  dan 6), ketiganya merupakan arca Bhoddhisattva dalam sikap berdiri tangannya terpotong (Gambar 4), sikap duduk dengan mudra dhyana (Gambar 5) dan Bhoddhisattva lainnya berdiri dengan sikap tangan abhayamudra (tangan kanan) dan tangan kirinya diletakkan dipinggang kiri (Gambar 6).
               
helen3
Sikap duduk atau berdiri dengan melakukan berbagai mudra juga diperlihatkan oleh arca-arca dari masa Klasik Tua di Jawa bagian tengah seperti arca Agastya dan Wisnu dari Candi Banon (gambar 7) dalam sikap berdiri samabhangga, tubuhnya tidak dibalut busana, busana hanya sederhana tanpa draperi yang berlebihan seperti arca Gandhara. Begitupun arca-arca Buddha dari Candi Borobudur memperlihatkan mudra tertentu sesuai dengan ajaran keagamaannya.
helen4
b.      Pita-pita di belakang kepala
Merupakan suatu hal yang menarik adalah mengenai hiasan pita di belakang kepala arca. Dalam gaya seni arca di Jawa, hiasan pita-pita tersebut baru dikenal dalam seni arca masa Majapahit yang berkembang antara abad ke-14—15 M. Di Lingkungan seni arca Gandhara hiasan pita-pita di belakang kepala arca itu telah lama dikenal. Pita yang berkibar di belakang arca terdapat pada beberapa arca Bhoddhisattvanya.

helen5
Beberapa anasir seni yang masih kemungkinan besar berasal dari gaya seni Hellenistic Gandhara ternyata masih dapat dijumpai dalam gaya seni arca dan relief di Jawa. Mungkin kajian di masa mendatang yang lebih mendalam akan banyak mengungkap lagi macam anasir seni lainnya yang masih bertahan dalam kesenian Jawa Kuno jauh beberapa abad kemudian setelah kesenian Gandhara meredup.
Secara historis dan arkeologis memang tidak ada hubungan langsung antara kebudayaan Yunani-Romawi dengan perkembangan kebudayaan di kepulauan Indonesia masa silam. Hal sangat mungkin terjadi akibat jauhnya jarak yang memisahkan wilayah Yunani kuno di Laut Tengah (Eropa) dan kepulauan Nusantara yang berada di Laut Asia Tenggara. Sebenarnya berita-berita tentang adanya pulau rempah-rempah yang terletak di wilayah timur telah terdengar dan dicatat oleh para sejarawan dan geograf dari Yunani-Romawi, hanya saja kunjungan langsung dari orang-orang Yunani Kuno ke kepulauan Indonesia belum pernah ada buktinya.
Dalam hal kebudayaan,  secara teoritis perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha Nusantara, terutama di Jawa, sedikit banyak telah mendapat pengaruh anasir kebudayaan Yunani Kuno lewat seni Hellenistic yang pernah berkembang di Gandhara, wilayah India Utara. Hellenistic Art itu telah mempengaruhi kesenian Mathura dan Gupta yang berkembang agak kemudian di India, kesenian Gupta yang bersifat Buddha itu juga masuk ke Jawa. Maka dengan sendirinya ada gaya seni Hellenistic yang diterima dan dikembangkan oleh seniman-seniman Jawa Kuno.
Diharapkan di masa mendatang penelitian secara khusus terhadap anasir seni Hellenistic di Indonesia dapat segera dilakukan, hal itu untuk membuktikan bahwa sejak masa silam, dalam sejarah antara bangsa Yunani dan bangsa Indonesia telah ada hubungan yang baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut di masa sekarang ini.
Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Pendukung hipotesis ini adalah Van Leur.
2. Hipotesis Ksatria
Pada hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi peperangan antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah seorang pendukung hipotesis ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok pedagang telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para pedagang banyak berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan hubungan itu telah membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom adalah salah satu pendukung dari hipotesis waisya
4. Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.

AGAMA HINDU
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500
SM. Sumber ajaran Hindu terdapat dalam kitab
sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita
atau “himpunan” yaitu:
1. Reg Weda, berisi syair puji-pujian kepada para dewa.
2. Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.
3. Yajur Weda, berisi mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
4. Atharwa Weda, berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit.
Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki
kitab suci lainnya yaitu:
1. Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.
2. Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
1. Dewa Brahmana, sebagai dewa pencipta.
2. Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara dan
pelindung.
3. Dewa Siwa, sebagai dewa perusak.